SEJARAH DAN PERAN PONDOK PESANTREN
sejarah pendidikan agama Islam yang
independent, kemudian populer dengan jargon “Pesantren” sebenarnya merupakan sejarah tipologi Institusi Pendidikan
Islam yang usianya sudah mencapai ratusan tahun, para ahli sejarah mencatat
bahwa eksistensi pondok pesantren telah lahir jauh sebelum Republik Indonesia
dibentuk. Hampir di seluruh penjuru Nusantara, terutama di pusat-pusat Kerajaan
Islam telah banyak para ulama yang mendirikan pondok pesantren dan menelorkan
ratusan bahkan ribuan alumni yang mumpuni di medan perjuangan masyarakat beragama.
Sebagai Lembaga
Pendidikan Islam pertama yang mendukung keberlangsungan pendidikan Nasional,
Pesantren tidak hanya berkembang sebagai Lembaga yang isinya cuma ngaji dan
menelaah kitab salaf melulu, sekaligus juga berperan penting bagi
keberlangsungan komunitas yang mempertahankan tradisional sebagai wajah bagi
keaslian budaya Indonesia, disamping Lembanganya yang bercorak pribumi
(indegenous), pesantren juga mampu merekonstruksi budaya kemarut yang kian
menghantam jantung ideology masyarakat Indonesia. Maka
dalam Sejarahnya, perkembangan pesantren telah memainkan peran sekaligus
kontribusi penting dalam pembangunan Indonesia. Sebelum Kolonial Belanda masuk
ke Nusantara, pesantren tidak hanya berperan sebagai Lembaga Pendidikan yang
berfungsi menyebarkan ajaran Islam sekaligus juga mengadakan perubahan-perubahan
tertentu menuju keadaan masyarakat yang lebih baik (progresif). Sebagaimana
tercermin dalam berbagai pengaruh pesantren bagi kelancaran kegiatan politik
para raja dan pangeran di-Jawa, kegiatan perdagangan dan pembukaan pemukiman
daerah baru. Di saat Penjajah Belanda menduduki Kerajaan-Kerajaan di Nusantara,
pesantren malah menjelma sebagai pusat perlawanan dan pertahanan terhadap
Kolonial Belanda, Inggris, dan Jepang. Bahkan, pasca kemerdekaan tahun
1959-1965, pesantren masih dikategorikan sebagai ‘Alat Revolusi’ dan ‘Bahan
Peledak’ yang mampu menghancurkan kelancaran politik yang stagnan. Dan saat
memasuki orde baru, pesantren dipandang sebagai ‘potensi pembangunan’ negara
bagi masyarakat Indonesia.
Geneologi
ideology pesantren dapat dirujuk kepada tumbuh kembangnya pesantren yang cukup
panjang. Sebagai salah satu wujud entitas budaya, Pesantren ternyata mampu
survive mempertahankan diri ditengah kehidupan masyarakat modern dan kebangsaan
global sepanjang jaman. Awalnya, pesantren tumbuh sebagai simbol perlawanan
terhadap agama dan kepercayaan poliestik, khurafat dan takhayul. Kehadiran
Pesantren di tanah air selalu diawali dengan perang nilai antara “nilai putih”
yang dibawa Pesantren dengan “nilai hitam” yang telah mengakar kuat dalam
tradisi masyarakat Jawa. Sehingga pertarungan tersebut selalu dimenangkan pihak
pesantren sekalipun sinkretisasi antara kejawen dan ajaran Islam sulit
dibantahkan. Kapan dan dimana model pesantren pertama
kali didirikan masih terjadi perbedaan. Ada yang mengatakan bahwa pesantren
sudah ada sejak abad ke-16 M yang ditandai dengan munculnya karya-karya Jawa
klasik, seperti Serat Cabolek dan Serat Centini, sejak abad ke-16 M. di
Indonesia telah banyak dijumpai Lembaga-Lembaga yang mengajarkan pelbagai kitab
Islam klasik dan disiplin ilmu pengetahuan Islam seperti Fiqh, Aqidah, Tasawuf,
dan variable ilmu Islam yang universal. Di samping itu, ada pula yang
mengatakan bahwa sistem pendidikan pesantren tak lain dan tak bukan adalah
“jiplakan” dari sistem pendidikan Hindu-Budha pada abad ke-18 M. Dengan
demikian, sejak abad ke 19-20, model pendidikan pesantren mulai banyak
mengalami perubahan dipelbagai segi sosial sebagai konsekuensi logis dari
“muncratnya trend jaman” akibat terpengaruh globalisasi. Bahkan, tidak sedikit
akhir-akhir ini dari Lembaga-Lembaga Pesantren yang mulai menerjuni dunia
pendidikan sebagai alternative pembangunan bangsa kearah yang lebih baik .
Tidak
sedikit kontribusi yang diberikan Pesantren dalam pembangunan nation-state
selama ini. Tengoklah pada masa penjajahan, Pesantren telah memainkan
perlawanan dan mengambil posisi uzlah sebagai bentuk perlawanan sekaligus
pertahanan dari para penjajah. Sebab dari uzlah inilah sebuah pesantren mampu
mendapatkan stereotip dari Pemerintah Kolonial yang pada waktu itu
dikonotasikan sebagai Lembaga Pendidikan yang semrawut, sehingga banyak orang
yang tidak tahu secara jelas sampai mana batas-batas Lembaga Pendidikan
Pesantren apakah sebagai Lembaga Sosial, ataukah Lembaga Penyiaran Agama. Banyak
para Kyai yang kedudukannya juga ikut-ikut tidak jelas apakah peran mereka
sebagai guru, pemimpin spiritual, penyiar agama ataukah sebagai pekerja social,
sehingga masih banyak Lembaga Pesantren yang hingga detik ini tidak mendapat
stigmatisasi pendidikan, sistem evaluasi, metode pengajaran, dan sebagainya.
Karena
anggapan miris Pemerintah Kolonial pada waktu itu, maka Pesantren lebih
memprioritaskan diri untuk pengajaran fiqh-sufistik daripada hal-hal yang
berkaitan langsung dengan masalah keduniawian. Tentu saja prioritas ini
menimbulkan kerugian sekaligus keuntungan. Keuntungannya, pesantren menjelma
menjadi Lembaga Pendidikan yang berhasil mengembangkan pertahanan mental
spiritualitas, solidaritas, dan kesederhanaan hidup yang kokoh. Namun di sisi
lain, kerugian yang harus ditanggung pesantren ialah, pesantren seakan-akan
telah terlepas dari kehidupan nyata, tidak membumi, terlalu melangit ke akhirat
serta kurang mengapresiasi diri bahkan melupakan kehidupan duniawi.
Pada
masa pergerakan dan persiapan kemerdekaan saja, pesantren berperan sebagai
pusat perjuangan / gerilyawan seperti Hizbullah dan Sabilillah. Pada masa-masa
awal pembentukan Tentara Nasional Indonesia khususnya Angkatan Darat, banyak
berasal dari santri dan sedikitnya diwarnai oleh kultur santri. Banyak dari
para Kyai dan pengasuh pesantren menjadi pemimpin diplomasi yang cukup piawai
untuk menegakkan kemerdekaan Indonesia melalui penyusunan dasar-dasar institusi
negara. Meski saat itu, Lembaga Pendidikan Pesantren
masih menjadi Lembaga Pendidikan Agama yang bercorak fiqh-gnostik dan klinik
sosial-keagaman masyarakat.Pada abad ke-20, pesantren mampu mereposisi diri
kearah sistem pendidikan yang berorientasi ke arah masa depan dengan tanpa
menghilangkan tradisi-tradisi yang baik, dengan berpedoman kepada prinsip
“al-muhafadzah alâ al-qadîm ash-shalih wa al-akhd bî al-jadîd al-ashlah”. Sejak tahun 1970-an, Pesantren mulai mengidentifikasi kelemahan dan
kekurangan dengan berusaha mengadaptasi dan mengakomodasi perubahan-perubahan
khususnya di bidang pendidikan, perubahan pendidikan khususnya masalah
pendidikan meliputi orientasi pendidikan serta aspek-aspek administrasinya,
diferensiasi struktural dan ekspansi kapasitas bahkan transformasi kelulusan
yang berkenaan dengan nilai, sikap, dan perilakunya. Pondok Pesantren Lirboyo
yang terletak di kawasan Kota Kediri saja pada abad ke-20, mulai mengajarkan
pendidikan ketrampilan di pelbagai bidang. Seperti menjahit, pertukangan,
perbengkelan, peternakan, dan sebagainya.
Pendidikan
ketrampilan ini diberikan dengan tujuan supaya civitas pesantren memiliki
wawasan keduniawian sesuai profesi yang diinginkan melalui pendidikan
ketrampilan, santri tidak hanya fasih dalam hal-hal yang bersifat karitas
atau charitable, tetapi juga professional menghadapi hal-hal yang bersifat sekuler, pragmatis, dan kalkulatif.
Dengan
demikian, para sejarawan akhirnya berhasil menyimpulkan bahwa sejarah geneologi
sistem pendidikan ala pesantren sebenarnya dapat ditelusuri dari era sebelum
masuknya Agama Islam. Istilah pesantren yang berawal dari surau Sunan Ampel
dianggap oleh sebagian ahli sejarah sebagai tonggak eksistensi awal munculnya
bendera Lembaga Pendidikan Pesantren dalam rangka mentransfomasikan keilmuan
dan kebangkitan Islam di Indonesia. Berawal dari tempat inilah, Pesantren
menjelma sebagai Lembaga Pendidikan rakyat yang berorientasi mencetak agen-agen
perubahan dan pembangunan masyarakat.
Pesantren sebagai benteng spiritual
Di
samping sistem pendidikannya yang amat sederhana, di dalamnya juga terdapat
interaksi sosial antara Kyai atau ustadz yang berperan penting sebagai guru
bagi para santri dan telah menjadikan standar pendidikan yang cukup efektif
bagi keberlangsungan sumber daya manusia. Kyai, sebagai top leader (uswah) yang
menjadi pemimpin tunggal, aktif mengatur langsung komunitas yang diembannya,
mulai urusan para tamu, santri baru, penentuan kitab-kitab kajian hingga
berbagai aktifitas yang dijalankan dalam tubuh Pesantren. Bertambah banyaknya
santri, biasanya menjadikan Kyai menunjuk santri seniornya menjadi Lurah
Pondok. Melalui Lurah inilah, semua urusan Kyai didelegasikan. Sejarah
metodologi pendidikan salaf semacam ini tak ayal menempatkan Pesantren sebagai
“kerajaan-kerajaan kecil” (muluk al-thawaif, emiret), dimana antara satu
Pesantren dengan yang lain memiliki aturan dan aktifitas yang berbeda.
Kini, seiring dengan perkembangan waktu, Lembaga yang sering disebut-sebut
“tradisional” itu, memasuki era globalisasi dan milenium ketiga dan mendapat
sorotan cukup tajam. Masalahnya, meski dikatakan tradisional, toh kenyataannya,
Pesantren sampai sekarang masih tetap eksis, bahkan mendapat simpati dan animo
masyarakat luas. Terlebih lagi dalam merespon krisis berkepanjangan di
Indonesia. Hal ini tak lain karena “omongan” para ahli
sejarah yang memprediksikan bahwa keberadaan Pesantren di Indonesia merupakan
benteng pertahanan terakhir bagi spiritualitas Negara Kesatuan Repuplik
Indonesia maupun Umat Islam di negeri ini. Harus di akui bahwa sejarah
berdirinya republik ini tak lepas dari jasa para ulama alumnus pesantren,
begitu pula dengan lenyapnya komunitas serta gerakan pengacau Republik
Indonesia. Bagi umat Islam, melalui Pesantrenlah mereka berharap kontinuitas
estafet dakwah Islam terus dilanjutkan. Hilangnya Pesantren, berarti lenyapnya
para ulama (agamawan) serta orang-orang shalih. Kalau sudah demikian, maka
tinggal tunggu kehancuran keindahan spiritual agama tersebut. Sungguhpun saat
ini telah menjamur institusi pendidikan formal yang berlabelkan Islam, akan
tetapi out-put Lembaga mereka nyata-nyatanya tidak mampu menelorkan para ulama yang
menjadi pewaris para Nabi.
Apalagi jika menengok
sejarah penanaman nilai-nilai moral dan metodologi pendidikan salaf bernafas
religius sampai saat ini ternyata mampu membuktikan dirinya mempertahankan anak
bangsa dari erosi akhlaq dan dekadensi moral. Pembentukan
jati diri manusia yang ber-akhlakul karimah hingga terwujudnya insan paripurna
merupakan salah satu misi Lembaga-Lembaga Pesantren Salaf di Indonesia. Sikap
Kyai yang tulus, ikhlas, sabar, Tawakal (berserah
diri), tawadlu’ (hormat), jujur serta independensi merupakan dinamika energy
power bagi nilai-nilai luhur Bangsa dan Negara. Manusia-manusia tipe mereka
saat ini sungguh langka ditemukan. Padahal hanya dengan jiwa yang terpatri pada
nilai-nilai mulia itulah Bangsa Indonesia bisa terselamatkan dari dekadensi
moral serta penyakit-penyakit lain yang akan menyeret Bangsa ke dalam kondisi
“krisis” berkepanjangan, tidak mustahil jika nantinya terjadi big bang kehancuran
bagi umat manusia.
Sejarah
independensi Pesantren dari generasi ke generasi telah membuktikan betapa
kokohnya Lembaga-Lembaga ini dalam memikul beban meneruskan perjuangan Nabi dan
Rasul. Di tambah, dengan sejarah keberadaan Pesantren sebagai Lembaga
Pendidikan Islam tidak hanya berperan atas unsur politik dan ekonomi, tapi
lebih dari itu, ia hadir sebagai bentuk tingginya animo masyarakat atas keilmuan
para ulama salaf. Sejak era Kolonial sampai Kemerdekaan, keberadaan Pesantren
yang berdiri baik di wilayah pedesaan atau pinggiran, Demografis serta doktrin jihad yang diterapkan, menjadikan Pesantren tidak
hanya sebagai pusat pendidikan rakyat tetapi telah menjadi simbol kebudayaan
Bangsa Indonesia itu sendiri.
Nilai-nilai pesantren harus
diakui yang pada dasarnya, Pesantren
dibangun atas dasar keinginan bersama dua komunitas yang saling bertemu.
Komunitas santri yang ingin menimba ilmu sebagi bekal hidup dan kyia/guru yang
secara ihklas ingin mengajarkan ilmu dan pengalamannya. Relasi simbiosis
mutualisme ini saling melangkapi, santri dan Kyai merupakan dua entitas yang
memiliki kesamaan kesadaran dan bersama-sama membangun komunitas keagamaan yang
kemudian disebut Pesantren. Kyai, ustadz, dan santri hidup dalam satu keluarga
besar berlandaskan nilai-nliai Agama Islam yang dilengkapi dengan norma-norma.
Komunitas keagamaan
Pesantren berlandaskan oleh keinginan tafaqquh fî ad-dîn (mendalami ajaran Agama),
dengan kaidah yang menjadi dari gurunya, al-muhafadzah alâ al-qadîm ash-shalih
wa al-akhd bî al-jadîd al-ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan
mengambil tradisi baru yang lebih baik). Keinginan dan kaidah ini
merupakan nilai pokok yang melandasi kehidupan dunia pesantren. Suatu bentuk
falsafah yang cukup sederhana, tetapi mampu mentransformasikan potensi dan
menjadikan diri Pesantren sebagai agent of change bagi masyarakat. sehingga, eksistensi Pesantren identik dengan lembaga
pemberdayaan serta pengembangan masyarakat.
Selain kedua nilai
diatas, eksistensi pesantren menjadi kokoh karena dijiwai oleh panca-jiwa, seperti
jiwa keihlasan yang tidak pernah didorong oleh ambisi apapun untuk memperoleh
keuntungan tertentu, khsusnya material, melainkan karena semata-mata karena
beribadah kepada Allah. Jiwa keikhlasan
memanifestasikan dalam segala rangkaian sikap dan perilaku serta tindakan yang
dilakukan secara ritual oleh komunitas pesantren. Jiwa kiekhlasan ini dilandasi
oleh keyaqinan bahwa perbuatan baik pasti diganjar oleh Allah dengan sesuatu
yang tak bisa dilukiskan oleh akal.
Selain itu dalam budaya
Pesantren salaf juga telah terpatri jiwa kesederhanaan, kata ”sederhana” disini
bukan berarti pasif, melarat, miskin, dan menerima apa adanya, akan tetapi
lebih dari itu mengandung unsur kekuatan dan ketabahan hati, kemampuan
mengendalikan diri dan kecakapan menguasai diri dalam menghadapi kesulitan. Dibalik jiwa kesederhanaan ini tersimpan jiwa yang besar, berani, maju, dan
pantang menyerah dalam menghadapi dinamika sosial secara kompetitif. Jiwa
kesederhanaan ini menjadi baju identitas yang paling berharga bagi civitas santri
dan Kyai. Apalagi dengan adanya jiwa kemandirian yang peranannya mampu
mengurusai persoalan-persoalan internal pesantren, namun kesanggupan membentuk
Pesantren sebagai institusi pendidikan Islam yang independen, tidak
menggantungkan diri kepada bantuan dan pamrih pihak lain. Pesantren dibangun
diatas pondasi kekuatan sendiri sehingga banyak dari mereka yang benar- benar menjadi merdeka, otonom, dan
mandiri. Di dalam budaya Pesantren salaf, biasanya
ada jiwa kebebasan dalam mengandalkan civitas Pesantren sebagai manusia yang
kokoh dalam memilih jalan hidup dan masa depannya, hanya dengan jiwa besar dan
sikap optimis inilah maka dalam lembaran sejarahnya, Pesantren mampu
mengahadapi segala problematika kehidupan umat manusia dengan dilandasi
nilai-nilai Islam. Kebebasan ini juga berarti sikap kemandirian yang tidak
berkenan didikte oleh pihak luar dalam membangun orientasi kepesantrenan dan
kependidikan. Sehingga muncullah jiwa jiwa lain seperti ukhuwwah Islamiyyah,
jiwa ini memanifesatasi dalam keseharian civitas Pesantren yang bersifat
dialogis, penuh keakraban, penuh kompromi, dan toleransi. Jiwa ini mematri
suasana sejuk, damai, saling membantu, senasib dan saling mengharagai bahkan
saling mensupport dalam pembentukan dan pengembangan idealisme santri.
Semua itu menjadikan Pesantren tetap “bernilai” dan mampu eksis sepanjang
sejarah kehidupan dan dinamika jaman. Globalisasi teknologi industry yang
massif dan mendunia tidak menggoyahkan eksistensi Pesantren sebagai penjaga
sekaligus pelestari nilai-nilai luhur.
Dikarenakan
Pesantren hanya tergantung terhadap kebenaran mutlak (Tuhan) yang diaktualisasi dalam fiqh-sufistik yang berorientasi kepada
amalan ukhrawiy, maka kebenaran didalamnya relative bersifat empiris pragmatis
dalam memecahkan beragam persoalan kehidupan sesuai dengan hukum agama. Semua
aktivitas Pesantren selalu mengacu kepada keseimbangan antara ukhrawiy dan
duniawi. keimanan ciri has Pesantren senantiasa memanifestasikan setiap perilaku, sikap, dan tindakan sehari-hari. karena itulah, identitas kyai dan santri menjadi sesuatu yang layak diteladani bagi setiap pengembangan masayarakat secara utuh.
Nilai
kemandirin yang menjadi pondasi eksistensial pesantren merupakan nilai utama
paling signifikan bagi perubahan sosial dan budaya yang otonom. Dengan
kemandiriannya, Pesantren telah mampu menjelma sebagai creative cultural makers
dan figure sang kyai sangat penting dalam kehidupan bermasyrakat. Sehingga,
profesi Kyai selain sebagai pengasuh Pondok juga sebagai tokoh masyarakat, mediator,
dan pialang. Kenyatan semacam ini tentu saja disebabkan Kyai mempunyai
integritas keilmuan tinggi yang mampu mempriteksi kesadaran masyarakatnya
sehingga terbentuk komunitas keagamaan dan budaya kemandirian. Dengan
kemandiriannya pula, Pesantren mampu terlepas dari jerat-jerat dependensi dan
hegemoni pihak lain.
Institusi Pendidikan yang komprehensif rentang waktu yang kian panjang mengantarkan berbagai Pondok pesantren
mengalami perubahan yang amat signifikan, baik di teropong dari metodologi
pendidikan maupun mekanisme struktur pondok pesantren yang diterapkannya. Jika
dahulu Pesantren hanya menggunakan sistem bandongan kini telah banyak
menggunakan sistem modern. Jika dahulu banyak Pesantren yang masih bergelut
dalam khazanah kutub as-salaf sebagai kurikulum pendidikan, kini telah banyak
di antara pesantren (meskipun sebagian besar juga belum) yang memasukkan
pelajaran umum sebagai kurikulum dalam metodologi pendidikannya, pembaharuan
ini tentu saja dinilai sebagai eksistensi Pesantren dengan harapan bahwa kelak
para alumninya mampu menggembleng masyarakat dengan berbagai kedisiplinan ilmu
yang membumi. Meski di lain pihak, banyak pula sebagian pesantren yang masih
memegang teguh corak stagnasi pendidikan salaf (konservatif dan cenderung
eksklusif), dengan harapan mampu menjaga ke-orisinal-an substansi pendidikan
pesantren seperti yang diinginkan para pendahulunya.
Pondok Pesantren Lirboyo yang berareal di kawasan kota Kediri merupakan satu diantara ribuan Pesantren yang hingga kini masih tetap percaya diri memegang teguh corak dinamisasi metodologi pendidikan salafnya. Fenomena ini bukan berarti Pondok Lirboyo antipati terhadap perkembangan modernisasi zaman, terbukti, meski masih memegang teguh corak pendidikan salaf, Pondok Lirboyo banyak mengadakan variable rekonstruksi kegiatan ekstrakulikuler berupa pendidkan bahasa Inggris, Komputer, jurnalistik dan berbagai macam dinamisasi modern yang marak di tengah masyarakat dunia. Wallahu A’lam.
Pondok Pesantren Lirboyo yang berareal di kawasan kota Kediri merupakan satu diantara ribuan Pesantren yang hingga kini masih tetap percaya diri memegang teguh corak dinamisasi metodologi pendidikan salafnya. Fenomena ini bukan berarti Pondok Lirboyo antipati terhadap perkembangan modernisasi zaman, terbukti, meski masih memegang teguh corak pendidikan salaf, Pondok Lirboyo banyak mengadakan variable rekonstruksi kegiatan ekstrakulikuler berupa pendidkan bahasa Inggris, Komputer, jurnalistik dan berbagai macam dinamisasi modern yang marak di tengah masyarakat dunia. Wallahu A’lam.
<< Home